Refleksi Politik 2024: Antara Kontroversi, Pelajaran, dan Harapan
Prabowo dan Jokowi

Tanpa terasa, kita semua sudah berada di penghujung kekuasaan politik tahun 2024. Tahun yang saya kira begitu menyimpan memori politik yang menimbulkan kegaduhan, kontroversi dan mengaduk-ngaduk perasaan kita semua. Biasanya di penghujung tahun selalu ada refleksi untuk melakukan evaluasi. Tentunya diharapkan agar kehidupan politik di masa-masa yang akan datang jauh lebih maju dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kita coba untuk cek satu persatu, kira-kira peristiwa apa saja yang kemudian menjadi konsumsi publik yang terkait dengan kehidupan politik kita di negara ini? Pertama, saya melihat peristiwa politik yang mutakhir dan bahkan tidak pernah diprediksi oleh siapapun adalah pecah kongsi antara Jokowi dengan PDIP. Pecah kongsi ini tentu tidak terlepas karena Jokowi tak lagi sejalan dengan PDIP terkait dengan Pilpres 2024. 

Apapun motifnya, yang jelas Jokowi dan PDIP sudah pisah jalan. Jokowi sudah “ditalak tiga” oleh partainya sendiri, karena sudah dinilai membangkang, tidak sejalan dan merusak demokrasi. Oleh karena itu, ini adalah satu peristiwa yang menurut saya di luar prediksi siapapun di luar nalar siapapun, karena kebersamaan Jokowi dengan PDIP, PDIP dengan Jokowi adalah simbiosis mutualisme interesting tentu ini harus berakhir dengan cukup tragis.

Suka tidak suka, Jokowi menjadi gubernur kemudian menjadi Walikota termasuk menjadi presiden tidak bisa terlepas dari peran-peran yang selama ini diperjuangkan oleh PDIP dan pada saat yang bersamaan harus diakui naiknya suara PDIP  tidak bisa lepas dari sosok Jokowi yang cukup melekat. 

Jika kita membaca angka-angka survei, salah satu unsur mengapa orang memilih PDIP adalah karena faktor Jokowi yang menjadi kawin silang kepentingan kekuatan politik dengan PDIP. Dengan Jokowi the end of the day, harus berakhir gara-gara perseteruan politik antara Jokowi dengan PDIP. Apakah karena PDIP mungkin menganggap Jokowi tak lagi sejalan dinilai berkhianat. Ataupun mungkin karena Jokowi tidak mau terus-menerus disebut dengan petugas partai.

Tapi bagi saya, peristiwa yang sangat mencengangkan sepanjang tahun 2024 itu adalah ketika pada akhirnya PDIP memecat secara resmi Jokowi dan keluarga besarnya. 23 tahun kebersamaan antara Jokowi dan PDIP ini berakhir nyaris tanpa bekas. 

Yang kedua, tentu adalah kongsi politik yang terjadi antara Jokowi dengan Prabowo. Mungkin ini juga adalah peristiwa politik di luar nalar. Kita bisa bayangkan Prabowo yang menjadi rival Jokowi sepanjang 10 tahun lamanya itu kemudian menjadi satu kongsi politik yang mengantarkan duet ini memenangkan Prabowo menjadi presiden Republik Indonesia yang ke-8. Tentu persekutuan ini tidak terlepas dari karena adanya anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang didapuk sebagai calon wakil Prabowo dalam berkontestasi dalam Pilpres 2024. 

Inilah yang saya selalu kita maknai politik itu biasa-biasa saja, hari ini teman besok bisa menjadi lawan, hari ini lawan besok menjadi teman. Apa yang terjadi pada koalisi Jokowi dan Prabowo Subianto mengesankan bahwa tak ada permusuhan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.

Titik temu kepentingan Jokowi karena mengusung Gibran sebagai calon wakil presiden dan tentu saja keinginan Prabowo ingin menjadi presiden jadilah satu kepentingan dalam satu kongsi politik. Mungkin ini tidak ada rumusnya di manapun, dimana antar petarung yang sepanjang 10 tahun lamanya, saling bersaing dan bersitegang harus berkompromi secara konsisten berkongsi dalam satu kolam koalisi memenangkan pemilu. 

Yang terpenting, mungkin ini pertama kali dalam sejarah di mana orang-orang yang selama ini bersaing harus seiring sejalan karena arah politiknya sama. Apa yang kemudian bisa menjelaskan itu semua? Di Indonesia dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrem, partai-partai cukup banyak tak ada pertarungan secara ideologis, programatis, visi dan misi. Yang ada adalah bertemunya kepentingan-kepentingan bersama. 

Oleh karena itu itulah yang saya sebutkan pasti ada “something else”, politik kita cair sampai kapanpun. Politik kita tidak bisa dilihat sebagai hitam dan putih, politik kita  bukan perang agama, perang identitas, yang ada adalah bagaimana kepentingan-kepentingan bisa disinergikan dan ada titik temu. 

Yang ketiga tentu saja peristiwa politik yang sangat mutakhir adalah terpilihnya Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia. Mari kita lihat Prabowo merawat mimpinya jadi presiden sejak 2004. Waktu itu Prabowo masih Golkar, lalu mengikuti konvensi Partai Golkar tentu harapannya menang di konvensi dan diusung oleh Golkar sebagai salah satu kontestan di 2004.

Tapi nyatanya, Prabowo kalah dalam konvensi, jika tidak salah, yang menang konvensi yang diusung maju adalah Wiranto. Tak patah arang sekalipun, kalah konvensi di Golkar, Prabowo tahun 2008 mendirikan Gerindra. Partai yang kemudian dijadikan sebagai instrumen untuk terus merawat mimpinya menjadi presiden. Partai inilah yang kemudian dijadikan kendaraan bagi Prabowo di tahun 2009 maju sebagai calon Wakil Presiden berdampingan dengan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDIP. 

Duet antara Megawati dengan Prabowo tahun 2009 tentu kalah, jika kita melihat sejarahnya kalah dengan SBY saat itu cukup fenomenal dan kuat, tapi Prabowo tidak patah arang sekalipun, Prabowo di Pemilu selanjutnya 2014 maju berkompetisi melawan Joko Widodo yang cukup fenomenal, mantan Walikota Solo, mantan Gubernur Jakarta dan maju di Pilpres head to head dengan Prabowo. 

Pertarungan politiknya cukup luar biasa menimbulkan kegaduhan dan bahkan huru-hara Prabowo kalah untuk yang ketiga kalinya. Tapi tidak berhenti di situ, dalam Pemilu 2019 Prabowo Subianto tanding ulang dengan Jokowi. Prabowo pada level kepercayaan tinggi di atas rata-rata menantang kembali Jokowi yang saat itu adalah petahana. 

Kompetisinya cukup luar biasa, banyak sekali isu-isu yang kemudian menimbulkan huru-hara dan kegaduhan terutama isu-isu yang terkait dengan isu agama. Saat itu muncul cebong dan kampret, saat itu juga kita sangat gampang menyaksikan mengkafir-kafirkan orang lain hanya karena beda pilihan politik. Benak kita masih merekam memori Jokowi yang berpasangan dengan Kyai Ma’ruf Amin, saat itu dituduh sebagai calon yang dinilai “berjarak” dengan kelompok Islam. 

Sementara Prabowo yang maju saat itu dikonotasikan dekat dengan kelompok-kelompok Islam. Ini adalah isu yang saya kira cukup fenomenal sepanjang Pemilu 2019. Dimana Prabowo head to head ulang dengan Jokowi. Kalah yang kesekian kalinya Prabowo dari Jokowi. Tapi sekali lagi, kekalahan politik yang kesekian kalinya tidak membuat Prabowo patah arang di 2024. 

Ada momen dimana Prabowo menang jadi presiden tentu ini tidak terlepas dari persekutuan politik yang dilakukan Prabowo dengan Jokowi pasca kekalahannya 2019. Prabowo menjadi bagian dari Jokowi, Prabowo jadi Menteri Pertahanan dan dari saat itulah kemudian kemesraan antara Prabowo dan Jokowi mulai terbangun. 

Tidak mengherankan di Pemilu 2024, Jokowi menunjukkan dukungannya secara terbuka mendukung Prabowo yang notabenennya berpasangan dengan Gibran Sang putra mahkota Jokowi. Peristiwa politik yang saya kira cukup luar biasa Prabowo kurang lebih sekitar 20 tahun lamanya, merawat mimpinya ingin menjadi presiden dari Republik ini. 

Oleh karena itu pesan politiknya sederhana jadi siapapun di negara ini yang ingin jadi presiden contohlah Prabowo, yang ingin menegaskan bahwa dalam politik itu tak ada kekalahan yang abadi. Kita boleh kalah sekali, tapi kita bisa bangkit mengikuti Pemilu dan bisa menang itu yang kemudian ditunjukkan oleh Prabowo. 

Selanjutnya peristiwa politik mutakhir itu adalah adanya Pilkada serentak secara nasional yang belum pernah terjadi dalam sejarah sepanjang Indonesia. Pilkada dilaksanakan di seluruh Indonesia. Serentak di seluruh kabupaten kota dan provinsi di 2024 ini adalah momen di mana seluruh rakyat Indonesia one day one election melaksanakan pemilihan secara serentak. Saya kira menimbulkan kesan bahwa di 2024 ada peristiwa yang belum pernah pada ada peristiwa-peristiwa sebelumnya dan menariknya lagi, Pilkada serentak kali ini adalah tingkat partisipasi yang cukup rendah dibawah 60%. 

Ini tentu menjadi evaluasi, karena salah satu kunci dalam politik seperti Pilkada adalah soal legitimasi yang diberikan oleh rakyat yang datang ke TPS. Bisa kita bayangkan, jika yang datang ke TPS rata-rata itu di bawah 60%, itu artinya legitimasi politik dalam pilkada itu rendah. Meski sah secara politik tapi soal dukungan,  engagement, orang datang ke TPS rendah menjadi problem tersendiri bagi demokrasi. 

Ada kegagalan kampanye, penyampaian visi misi, sosialisasi terkait dengan Pilkada. Tentu saja, sehingga orang merasa tidak nyaman tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam pilkada di 2024. Tapi kami lihat Pilkada serentak secara nasional ini menjadi momen yang saya kira akan diingat oleh banyak orang, karena ini pertama kali dalam sejarah bahwa kita melaksanakan Pilkada secara serentak. 

Yang terakhir adalah dugaan tersangka Hasto Kristiyanto Sekjen PDIP, orang penting di partai nomor dua di PDIP menjadi tersangka dalam kasus yang melibatkan Harun Masiku. Yang sampai hari ini, aura kasusnya terus dijadikan sebagai perbincangan. apakah ini kepentingan politik yang tercampur, karena ada kriminalisasi dengan persoalan-persoalan hukum murni lalu menjadi konsumsi publik yang tidak berkesudahan. 

Saya kira itu adalah peristiwa-peristiwa politik yang kita bisa lihat viral dan diperbincangkan oleh publik sepanjang tahun 2024. Tentu saja jika boleh kita simpulkan sederhana apa yang terjadi pada di 2024 harus dijadikan sebagai guidance, sebagai bahan refleksi bahwa di tahun-tahun yang akan datang 2025 dan seterusnya, kondisi politik kita menjadi tidak baik-baik saja karena secara kualitas demokrasi masih begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin di republik.

Oleh karena itu, semoga di tahun depan kita menghadapi tahun-tahun politik yang semakin kondusif, teduh dan harapannya semoga pembangunan hukum politik-ekonomi semakin solid dan konsolidatif. Tentu supaya kita mampu menata tahapan-tahapan politik menjadi Indonesia yang diridhoi Allah. Baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur.

Share the Post:

Related Posts