Di antara gegap-gempita mimpi Indonesia Emas 2045, kita berdiri di sebuah persimpangan jalan sejarah yang sunyi namun menentukan. Seratus tahun kemerdekaan bukan sekadar momentum seremonial, melainkan pertaruhan etis dan kebijakan tentang arah bangsa. Persimpangan ini bukan hanya soal pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal jiwa bangsa: nilai, moralitas, dan keberanian menegakkan etika dalam tindakan dan kebijakan. Bangsa ini tidak hanya harus berlari, tetapi juga tahu ke mana ia berlari dan mengapa.
Etika dan Krisis Kepemimpinan Moral
Indonesia hari ini dihadapkan pada krisis etika publik yang akut. Kita menyaksikan praktik politik yang banal, birokrasi yang cenderung oportunistik, serta masyarakat yang semakin permisif terhadap pelanggaran moral. Dalam konteks teori etika publik yang diajukan oleh Dennis Thompson, ada keharusan bahwa kebijakan publik tidak sekadar legal, tetapi juga harus etis. Etika bukan pelengkap hukum, melainkan fondasi moral yang menopang legitimasi kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya, justru ada kekosongan moral di tengah hiruk-pikuk kebijakan. Kita terlalu lama terpaku pada pertumbuhan ekonomi sebagai indikator tunggal keberhasilan, melupakan pembangunan karakter dan integritas sebagai fondasi jangka panjang. Seorang filsuf kontemporer seperti Alasdair MacIntyre pernah menegaskan pentingnya “keutamaan” (virtues) dalam ruang publik agar institusi tidak hanya kompeten, tetapi juga benar secara moral. Maka, menjelang 2045, pertanyaan utamanya adalah: apakah kita sedang mencetak pemimpin yang hanya cerdas secara teknokratis, atau juga arif secara etis?
Jika etika hanya menjadi simbol, maka praktik kebijakan akan kehilangan jiwa. Kepemimpinan etis bukan hanya soal kejujuran pribadi, tetapi kemampuan mengambil keputusan berdasarkan nilai yang berpihak pada kebenaran, walau tak populer. Kita butuh paradigma kepemimpinan yang menempatkan integritas di atas diplomasi pencitraan, dan visi keadilan sosial di atas kompromi politik jangka pendek.
Tindak Laku dan Budaya Warga Negara
Etika tidak berdiri sendiri. Ia harus menjelma dalam tindak laku keseharian warga negara. Perubahan besar dalam sejarah bangsa-bangsa besar tidak hanya digerakkan oleh elite, tetapi oleh gelombang kesadaran kolektif rakyat. Dalam kerangka civic virtue, masyarakat Indonesia harus mulai memelihara etos kritis, daya tahan moral, dan keberanian sipil (civic courage). Tidak ada perubahan berarti jika rakyatnya apatis.
Fenomena banalitas korupsi di Indonesia, misalnya, bukan hanya karena lemahnya hukum, tapi juga karena masyarakat diam. Di titik ini, Paulo Freire melalui konsep conscientization menekankan pentingnya kesadaran kritis sebagai alat pembebasan. Kesadaran kolektif harus dibangun untuk menciptakan tindak laku sosial yang berpihak pada keadilan dan kebenaran. Tanpa itu, cita-cita Indonesia Emas akan berakhir sebagai slogan kosong tanpa makna.
Dalam ranah sosial media yang penuh polarisasi, kita harus mulai menumbuhkan budaya diskusi sehat, etika berpendapat, dan penghargaan terhadap perbedaan. Sebab jalan menuju bangsa besar bukanlah jalan yang dipenuhi keseragaman, melainkan jalan yang dikuatkan oleh semangat kolaborasi dan keberagaman yang saling menghargai.
Kebijakan sebagai Kompas Arah Bangsa
Kebijakan publik adalah refleksi dari nilai-nilai yang dihidupi oleh suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, kebijakan terlalu sering terjebak pada kalkulasi jangka pendek dan kepentingan pragmatis.
Padahal, bangsa yang ingin bertahan hingga satu abad kemerdekaan harus memiliki keberanian dalam mengambil kebijakan jangka panjang, yang mungkin tidak populer, tetapi dibutuhkan.
Pendidikan, misalnya, masih menjadi ladang yang terfragmentasi. Kurikulum silih berganti tanpa arah nilai yang jelas. Kita membutuhkan kebijakan yang tidak hanya mendidik anak-anak Indonesia menjadi pekerja, tetapi juga menjadi manusia merdeka yang berpikir kritis dan etis. Demikian pula dalam sektor lingkungan, Indonesia harus berani membuat kebijakan transformatif menuju energi hijau yang adil dan berkelanjutan, bukan sekadar menambal krisis dengan solusi jangka pendek yang mengorbankan generasi mendatang.
Dalam pendekatan public policy cycle, kita harus mulai dari formulasi masalah yang etis, melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dan mengevaluasi dampak kebijakan secara transparan. Setiap kebijakan, sekecil apapun, adalah percikan arah kompas bangsa. Ia bisa membawa kita ke kejayaan, atau menjerumuskan ke jurang kegagalan kolektif.
Untuk mencapainya, negara perlu menciptakan ruang-ruang deliberatif yang memberi peluang warga untuk bersuara dalam pengambilan kebijakan. Konsep governance 2.0 menjadi penting, di mana pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya aktor, tapi menjadi fasilitator keterlibatan multi- stakeholders, termasuk anak muda, masyarakat adat, dan organisasi sipil.
Arah Kompas Menuju Indonesia Emas 2045
Maka, kompas menuju Indonesia Emas bukan hanya ditentukan oleh indikator ekonomi, tetapi juga oleh arah nilai yang kita pilih. Apakah kita membangun bangsa yang adil atau hanya kompetitif?
Apakah kita mengejar kemajuan yang manusiawi, atau sekadar perlombaan angka dan statistik?
Jawabannya ada dalam keberanian kolektif untuk memulihkan etika dalam politik, menyemai keberadaban dalam ruang publik, serta menuntut kebijakan yang berpihak pada kebenaran, bukan kekuasaan semata. Titik persimpangan hari ini adalah panggilan bagi kita semua aktivis, akademisi, warga biasa untuk tidak tinggal diam, tetapi menjadi bagian dari gerakan membenahi kompas bangsa.
Kita tidak sedang membicarakan cita-cita kosong, tetapi pekerjaan besar yang menuntut komitmen dan keberanian. Maka, narasi Indonesia Emas harus ditulis dengan tinta keberpihakan pada kaum marjinal, kaum muda yang progresif, serta komunitas-komunitas yang selama ini berada di pinggiran kebijakan.
Indonesia Emas bukanlah hadiah. Ia adalah hasil dari pilihan-pilihan etis yang kita ambil hari ini, dalam setiap tindakan, kata, dan kebijakan.