Pernyataan Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), dalam acara halal bihalal sekaligus pengumuman pengurus baru PAN, menjadi sorotan karena mengandung dua poin politik yang signifikan. Pertama, ia memberikan “kode tebal”—bahkan bisa dibaca sebagai komitmen—bahwa PAN sangat mungkin akan mendukung kembali Prabowo Subianto untuk maju kedua kalinya dalam Pilpres 2029.
Kedua, ia menyatakan ambisi PAN untuk masuk empat besar dalam Pileg 2029. Kedua pernyataan menyiratkan kalkulasi politik yang matang sekaligus menunjukkan transformasi PAN dalam beberapa tahun terakhir. Dalam tulisan ini, saya akan mengurai alasan di balik dukungan PAN kepada Prabowo, ambisi elektoral PAN, dan bagaimana transformasi politik PAN menjadi kunci potensi keberhasilan di masa depan.
Pernyataan Zulkifli Hasan yang mengindikasikan dukungan PAN kepada Prabowo Subianto untuk Pilpres 2029 bukanlah hal yang mengejutkan. Ada kecenderungan historis di Indonesia bahwa presiden petahana yang maju untuk periode kedua memiliki peluang lebih besar untuk menang. Contohnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 memenangkan Pilpres keduanya dengan meyakinkan setelah menjabat periode 2004-2009.
Hal serupa terjadi pada Joko Widodo (Jokowi), yang setelah periode 2014-2019, kembali menang dengan relatif mudah pada 2019 melawan Prabowo Subianto. Kini, sebagai presiden petahana, Prabowo diperkirakan akan mengikuti pola yang sama pada 2029. Dukungan kepada petahana seperti Prabowo adalah langkah rasional bagi PAN, mengingat seorang petahana biasanya mendapat exposure media, dukungan politik, popularitas, dan elektabilitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan calon penantang.
Selain itu, ada korespondensi historis antara PAN dan Prabowo. Pada Pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa, kader terbaik PAN saat itu. Meskipun kalah, kolaborasi ini menunjukkan hubungan yang telah terjalin antara kedua pihak. Zulkifli Hasan tampak ingin membangun kembali “romantisme” politik tersebut dengan mendorong kader PAN untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo di 2029. Dalam sambutannya, ia mempersilahkan kader PAN untuk “mem-profiling diri” sebagai calon pemimpin, yang mengindikasikan intensi kuat PAN untuk menempatkan kader terbaiknya di sisi Prabowo.
Meskipun ambang batas presiden 20% telah dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi—membuka peluang bagi partai lain untuk mengusung calon presiden—PAN tampaknya tetap realistis. Head-to-head melawan Prabowo sebagai petahana adalah tantangan berat. Oleh karena itu, mendukung Prabowo sembari berusaha menempatkan kader sebagai calon wakil presiden menjadi strategi yang lebih pragmatis dan terukur.
Selain dukungan kepada Prabowo, Zulkifli Hasan menyatakan ambisi PAN untuk masuk empat besar dalam Pileg 2029. Ambisi ini bukan tanpa dasar, melainkan didukung oleh capaian PAN pada Pileg 2024. Pada Pileg 2019, PAN memperoleh 44 kursi di DPR (6,82%), sedangkan pada 2024, jumlahnya naik menjadi 48 kursi (7,32%). Peningkatan sekitar 1 juta suara ini menunjukkan tren positif yang menjadi modal bagi PAN untuk mengejar target lebih besar di 2029.
Keberhasilan ini tidak lepas dari transformasi politik yang dilakukan PAN dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu langkah krusial adalah memutus ketergantungan pada figur Amien Rais, pendiri dan tokoh sentral PAN selama puluhan tahun. Dulu, PAN identik dengan Amien Rais—seolah-olah partai ini adalah “wajah lain” darinya.
Namun, setelah Amien Rais keluar dan mendirikan Partai Ummat, PAN justru mampu melakukan rebound politic. Peningkatan suara pada 2024 membuktikan bahwa PAN berhasil menyusun kembali “bangunan dasar kekuatan politiknya” tanpa bergantung pada figur tunggal. Ini adalah eksperimen politik yang tidak mudah, tetapi hasilnya menunjukkan bahwa PAN mampu beradaptasi dan menemukan basis dukungan baru.
Transformasi lain yang tak kalah penting adalah pengurangan ketergantungan pada basis pemilih Muhammadiyah. Awalnya, PAN sering disebut sebagai “wadah politik” Muhammadiyah, dengan asumsi bahwa “di mana ada PAN, di situ ada Muhammadiyah, dan sebaliknya.” Namun, pada Pileg 2024, ketergantungan ini berkurang signifikan.
Pemilih Muhammadiyah, yang “cenderung sulit diatur” dan lebih condong mendukung Partai Ummat bersama Amien Rais, tidak lagi menjadi tumpuan utama PAN. Partai ini beralih mencari ceruk pemilih baru, terutama dari kalangan anak muda, millennial, dan Gen Z. Strategi ini diwujudkan dengan mencalonkan figur-figur dari kalangan selebritis dan public figure, yang terbukti efektif dalam menarik pemilih baru dan meningkatkan suara PAN.
Jika PAN berhasil menempatkan kadernya sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo, partai ini berpotensi meraup keuntungan elektoral melalui efek ekor jas (coat-tail effect). Dalam politik Indonesia, partai yang mengusung calon presiden atau wakil presiden sering kali mendapat tambahan suara dalam pileg.
Pemilih yang mendukung pasangan calon tersebut cenderung juga memilih partai pengusungnya, memberikan efek “ekor jas” (coat-tail) yang signifikan. Contohnya, partai pendukung Jokowi pada 2014 dan 2019 kerap meraup keuntungan elektoral tambahan.
Dengan demikian, ambisi PAN untuk masuk empat besar pada Pileg 2029 akan semakin realistis jika partai ini berhasil menyodorkan kader terbaiknya sebagai pendamping Prabowo. Kombinasi dukungan kepada petahana dan efek ekor jas dapat menjadi insentif politik yang kuat. Ditambah dengan transformasi yang telah dilakukan—memutus ketergantungan pada Amien Rais dan basis Muhammadiyah, serta menarik pemilih muda—PAN memiliki pondasi yang solid untuk mencapai target tersebut.
Meski demikian, ambisi PAN tidak akan terwujud tanpa kerja politik yang konkret. Transformasi yang sukses pada 2024—memutus ketergantungan pada Amien Rais, mengikis ketergantungan pada Muhammadiyah, dan menarik pemilih muda—harus diulang dan diperkuat pada 2029.
PAN perlu terus memperluas basis pemilihnya, terutama di kalangan Gen Z dan milenial, serta memastikan kader terbaiknya mampu bersaing sebagai calon wakil presiden. Selain itu, PAN harus menjaga momentum peningkatan suara agar tidak hanya bertahan, tetapi benar-benar melesat ke empat besar.
Pernyataan Zulkifli Hasan mencerminkan kalkulasi politik yang matang. Dukungan kepada Prabowo sebagai petahana adalah langkah realistis mengingat peluang kemenangannya yang besar. Ambisi masuk empat besar dalam Pileg 2029 juga didukung oleh transformasi politik yang telah terbukti berhasil. Namun, keberhasilan akhir tergantung pada konsistensi strategi dan kerja keras di lapangan.
Pernyataan Keta Umum PAN tersebut bukan sekadar retorika, melainkan cerminan strategi politik PAN yang terukur. Dukungan kepada Prabowo untuk Pilpres 2029 adalah langkah pragmatis berbasis fakta historis dan kalkulasi elektoral. Sementara itu, ambisi masuk empat besar dalam Pileg 2029 adalah target ambisius yang dibangun di atas transformasi politik sukses PAN—dari partai yang identik dengan Amien Rais dan Muhammadiyah menjadi partai yang lebih dinamis dengan basis pemilih muda. Jika PAN mampu mempertahankan momentum ini, menyodorkan kader terbaik sebagai calon wakil presiden, dan memanfaatkan coat-tail effect, target empat besar bukanlah mimpi. Namun, waktu dan kerja politik yang konsisten akan menjadi penentu. PAN telah membuktikan kemampuannya rebound pada 2024; kini, tantangannya adalah memastikan langkah tersebut bukan sekadar keberuntungan, tetapi fondasi menuju posisi yang lebih kuat di 2029.
Nashir Efendi
Tenaga Ahli DPP PAN