Pelecehan yang dilakukan oleh Dokter
SIPANDA

Sedang ramai akhir-akhir ini kasus oknum dokter, salah satunya adalah Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter PPDS anestesi Universitas Padjadjaran, Priguna Anugrah Pratama, terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.

Seorang korban yang saat itu tengah menjaga ayahnya diminta oleh tersangka untuk melakukan pemeriksaan crossmatch atau pengecekan kecocokan golongan darah yang akan digunakan untuk transfusi kepada sang ayah yang sedang membutuhkan donor darah. Korban kemudian dibawa ke ruang IGD di lantai 7 gedung MCHC. Setibanya di sana, tersangka meminta korban mengganti pakaiannya dengan baju operasi. Setelah itu, korban dibius oleh tersangka menggunakan midazolam-obat penenang yang umumnya diberikan sebelum tindakan operasi yang disuntikkan melalui cairan infus sehingga tak sadarkan diri.

Dalam kondisi tak sadar itulah, tersangka melakukan pemerkosaan terhadap korban. Sekitar pukul 04.00 WIB, korban terbangun dan kembali ke ruang IGD. Saat hendak buang air kecil, korban merasakan nyeri pada area genitalnya. Hal tersebut kemudian ia ceritakan kepada ibunya. Merasa ada kejanggalan dari keluhan korban, pihak keluarga akhirnya melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Setelah dilakukan penyelidikan, tersangka ditangkap pada tanggal 23 Maret 2025.

Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa tersangka tidak hanya melakukan pemerkosaan sekali. Ia telah melakukan tindakan serupa terhadap dua korban berbeda, yang merupakan pasien di RSHS, masing-masing pada tanggal 10 dan 16 Maret 2025.

Kedua korbannya merupakan pasien di RSHS.

Sangat disayangkan terjadinya hal ini, keluarga pasien yang seharusnya mendapatkan Pelayanan Medis berujung kejadian teragis oleh oknum dokter yang bengis.

Lalu dapatkah dari kejadian ini terjadi Restorative Justice?

Pada Peraturan Polri No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Keadilan Restoratif diartikan sebagai penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Pasal 23 UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur,

“Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.”

Berdasarkan asas lex superior derogate legi inferiori, peraturan perundang-undangan yang memiliki tingkat hierarki lebih tinggi memiliki kekuatan untuk mengesampingkan atau mengesampingkan keberlakuan peraturan yang berada di bawahnya.

Oleh karena itu, Jelas bahwa pelaku akan tetap menjalankan pertanggungjawaban pidana dan proses pidana walaupun terdapat adanya kesepakatan damai antara pelaku kekerasan seksual dengan korban.

Dalam kasus ini tersangka yang sedang dalam profesi melakukan pemerkosaan terhadap korban dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 6 Huruf C Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual:

“Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.0OO.0OO,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai salah satu penyebab peserta didik PPDS melakukan tindakan kriminal adalah adanya jam kerja yang berlebih atau overtime. “Harusnya residen maupun co-ass itu jam kerja maksimal 40-50 jam per minggu. Kalau saat ini Kemenkes itu membuat surat edaran sekitar 80 jam per minggu itu. Menurut kami itu masih tidak ideal,” kata Ketua Umum IDI Slamet Budiarto pada Kamis, 10 April 2025.

Hasil skrining dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sebanyak 2.716 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia setara dengan 22,4% dari total peserta yang disurvei pada Maret 2024 mengalami gejala depresi. Berbagai faktor menjadi pemicu tingginya angka ini, salah satunya adalah tekanan yang berat selama masa pendidikan. Para dokter spesialis kerap dihadapkan pada beban kerja yang panjang, tuntutan kondisi finansial yang memadai, serta gangguan seperti sulit berkonsentrasi, perubahan nafsu makan (baik meningkat maupun menurun), pola tidur yang terganggu, hingga munculnya pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau mengakhiri hidup, yang tergolong cukup serius.

Depresi tidak hanya dialami oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), tetapi juga dapat dirasakan oleh dokter yang telah menjalani profesinya secara penuh. Tidak jarang, para dokter mengalami perasaan tidak berdaya ketika menghadapi kondisi pasien yang sulit ditangani.

Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk menyadari bahwa mereka adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Meskipun tanggung jawab profesi harus dijalankan dengan penuh dedikasi, tetap perlu diingat bahwa kesempurnaan dalam menyembuhkan setiap pasien bukanlah sesuatu yang mutlak. Peran dokter adalah sebagai perantara dalam proses kesembuhan, dan hasil akhir tetap berada di tangan Yang Maha Kuasa.

Pasal 44 Ayat 1 & 2 KUHP menyebutkan bahwa,

“(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan”

Dalam praktik persidangan, pembuktian bahwa seseorang mengalami gangguan kejiwaan umumnya dilakukan melalui kehadiran saksi ahli di bidang tersebut. Namun demikian, bukti terkait kondisi kejiwaan juga dapat diperoleh dari keterangan resmi rumah sakit, tanpa kehadiran langsung ahli di ruang sidang.

Namun, keputusan akhir mengenai apakah terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya tetap berada di tangan hakim. Hakim memiliki kewenangan penuh dalam hal ini, meskipun ia dapat mempertimbangkan pendapat atau nasihat dari dokter spesialis kejiwaan sebelum menjatuhkan putusan.


Daftar Sumber:

Share the Post:

Related Posts